Setelah mendengar curhat dan penuturan anak
lelakinya yang sudah menginjak remaja, Isti bersegera mendatangi
suaminya yang sedang membaca buku di ruang keluarga.
“Papa ini gimana sih, masak ngasih kiat buat anaknya mendapatkan pacar dengan cara-cara yang kurang gentlemen seperti itu!.”
“Yah .., namanya juga usaha Ma,” jawab suaminya kalem.
“Usaha sih usaha, tapi Papa kan harusnya malu sama anak kita,” kata Isti sewot.
“Kenapa Papa harus malu Ma? Aji kan anak kita.
Sebagai orangtuanya sudah sewajarnya kalau Papa mengajari dia bagaimana
mencari pacar. Kalau Aji tidak mau cara-cara yang Papa sarankan, yang
nggak masalah. Kata Gus Dur, begitu aja kok repot.”
“Tapi Mama tidak setuju kalau Aji harus berbohong untuk mendapatkan pacar!” Isti tambah sewot.
“Lho Ma, Papa kan cuma ngajarin bohong sedikit, supaya Aji terlihat lebih hebat.”
“Nah .., kalau nanti mereka jadian dan ternyata
kebohongan Aji terkuak gimana? Ayo …, gimana kalau pacarnya lantas
memutuskan hubungannya?”
“Itu kan cuma teori Mama, kenyataannya sih tidak segitu-gitu amat,” jawab suaminya santai sambil tetap membaca buku.
“Papa ini gimana sih, kalau Mama yang jadi pacarnya
dan tahu kalau dulunya dibohongi, otomatis Mama akan putuskan pacaran
sama Aji” suara Isti semakin meninggi karena emosi.
“Ah …, enggak juga kali,” sahut suaminya sambil tetap membaca.
“Enggak gimana maksud Papa!?” Isti mulai berteriak.
Kesal karena nada suara Isti semakin meninggi,
akhirnya suaminya meletakkan buku dan memandang Isti dengan tatapan yang
sangat tajam serta berujar.
“Ma …, trik yang saya sarankan buat Aji itu sudah terbukti. Dan sampai sekarang nggak ada protes atau merasa dibohongi. Karena trik itulah yang dulu saya pakai untuk mendapatkan Mama ……..”
Isti : !!!??? (seperti hendak menyalak, tapi tidak keluar suara apapun).
No comments:
Post a Comment